sbrsf3oh7mny1sTxm1k6ETdVC9RuzvnEtNBMaGI7

Perwujudan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di TNBTS berbasis Kearifan Lokal Suku Tengger

Pendahuluan

            Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2021 emisi karbon di Indonesia imbas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai 41,4 juta ton Co2e. Sepanjang tahun 2021 karhutla di Indonesia memproduksi emisi karbon meningkat 2,7% dari tahun sebelumnya. (databoks.katadata.co.id, 2022). Emisi karbon ini tentu saja berbahaya bagi keberlanjutan lingkungan. Selain emisi karbon, kebakaran hutan juga dapat menghasilkan kabut asap yang dampaknya dirasakan kemana pun angin membawanya, bahkan hingga ke negeri tetangga

            ”Hutan adalah makanan kami, air adalah darah kami dan batu-batuan adalah tulang kami.” Kata seorang perempuan dari Desa Marena, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dari kutipan tersebut dapat kita simpulkan bahwa hutan dan segala isinya adalah penopang hidup mereka, melekat erat dalam seluruh sendi kehidupan mereka. Hal ini akan sangat dirasakan oleh seluruh pihak yang memanfaatkan hutan secara langsung, seperti suku pedalaman hutan, seluruh satwa penghuni hutan, dan para pelaku ekonomi yang menggunakan sumber daya alam dari hutan sebagai bahan baku utama mereka.

           Dengan terjaganya kelestarian hutan, maka terjamin pula keberlanjutan hidup di dalam area inti maupun penyangganya. Bagaimana tidak? Hutan menjadi tempat bernaung keanekaragaman hayati baik biotik maupun abiotik. Unsur-unsur abiotik di dalamnya memberi dampak luas yang mendunia bagi unsur-unsur biotik. Hutan menjadi tempat hidup, sumber makanan, bahan baku industri, bahkan ketersediaan oksigen dan air sebagai unsur utama kehidupan tergantung pada hutan. Maka bisa dibayangkan jika hutan rusak, apa yang akan terjadi dengan keseimbangan ekosistem di bumi ini.

Kearifan Lokal Peduli Hutan di TNBTS

            Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beribu suku, yang mana di antaranya hidup dalam lebatnya pedalaman hutan. Suku-suku ini memiliki aturan adat sendiri untuk menjaga agar hutan yang menjadi rumah mereka tetap lestari. Misalnya saja Suku Tengger yang mendiami Kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini dikukuhkan pemerintah sejak 1982, yang mana meliputi wilayah kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan Malang.

            


            Teringat pada bulan Mei tahun 2007 ketika saya dan rombongan mendaki semeru. Hari sudah malam saat kami tiba di Desa Ranu Pani. Suhu saat itu kurang lebih 16 oC, bahkan saat kami terbangun di pagi hari kami menaksir suhu semakin turun di angka 10 oC. oleh petugas pos perizinan, kami disuguhi oleh perapian dengan kayu bakar dan sajian teh hangat.  Memang inilah yang kami perlukan. Saat mulai mendaki, kami melewati perkebunan sayur warga. Sepanjang perjalanan, kami menyaksikan betapa indahnya alam. Begitu takjub saat berada di area Danau Ranu Kumbolo. Airnya penuh dan tampak menyegarkan. Selang tiga bulan berikutnya, tepatnya Agustus 2007, kami kembali mendaki. Kondisi alam kami rasa berubah. permukaan air di Danau Ranu Pani dipenuhi tanaman air, luasan perkebunan kami lihat bertambah, air di Ranu Kumbolo pun menyusut. Pada beberapa tahun berikutnya, saya mendengar kabar jika di area Ranu Kumbolo sudah didirikan fasilitas warung makanan dan beberapa WC.

             Dari gambaran kawasan TNBTS tersebut, terutama di jalur pendakian semeru melalui Tumpang Malang, dapat diketahui bahwa dalam beberapa bulan saja ternyata kondisi alam dapat berubah, baik karena ulah manusia maupun secara alami. Dalam suatu catatan perjalanan dari seorang aktivis lingkungan di Malang, Eko Widianto pada tahun 2019, menyebutkan bahwa dari total 50.276 Ha, seluas 2.139 Ha hutan telah mengalami kerusakan di Kawasan TNBTS. Hal ini diakibatkan dari perambahan, kebakaran hutan, dan erupsi Gunung Semeru.  Di Desa Ranu Pani, Kabupaten Malang, pengalih fungsian lahan hutan menjadi perkebunan serta kebutuhan akan kayu bakar sebagai penghangat ruangan, membuat semakin meluasnya perambahan hutan di Kawasan TNBTS. Masyarakat terkadang menebang pohon akasia di luar zona mereka denganmasuk hutan secara sembunyi-sembunyi dari polisi hutan Balai Besar TNBTS dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Kegiatan lainnya berkaitan dengan mata pencaharian utama masyarakat Ranu Pani sebagai petani sayur (kentang, kubis, dan bawang) yang mana longsoran akibat kemiringan lahannya juga menambah pendangkalan di dasar Danau Ranu Pani sebagai salah satu area tangkapan air TNBTS. Bertani merupakan aktivitas suci bagi Suku Tengger karena hasil bumi itulah yang akan dilarungkan ke Kawah Gunung Bromo pada upacara Kasada.

Selain dari masyarakat sekitar, rusaknya hutan TNBTS juga merupakan dampak dari aktivitas pengembangan wisata alam. Pada bulan Agustus terutama, jumlah pendaki akan membludak. Hal ini tentu saja dapat mengganggu ekosistem hutan. Suara para pendaki yang terlalu banyak, apalagi yang membawa peralatan elektronik yang mengeluarkan gelombang elektromagnet, seperti handphone, dan sebagainya, menyebabkan satwa liar terganggu ketenangannya. Belum lagi masih ada pendaki yang terkadang belum sepenuhnya sadar akan masalah sampah dan vandalisme. Masalah lain yang saat ini yang sedang populer adalah rencana pengembangan Kawasan TNBTS sebagai salah satu ‘Bali Baru’. (kompas, 2021) Obyek wisata yang direncanakan adalah pembangunan jembatan kaca, glamour camping (glamping), homestay, dan juga restoran. Adapun informasi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, pembangunan akan dilaksanakan di tiga titik lokasi, yaitu di kawasan Jemplang, arah Probolinggo, dan arah Malang. Pada tahap awal ditemukan aktivitas penebangan pohon akasia yang memicu rusaknya savana di area tersebut.

Menyikapi berbagai aktivitas yang mengancam lingkungan tersebut, Balai Besar TNBTS melakukan uji coba produksi briket arang dari tanaman krinyuh yang merupakan hama di hutan sebagai pengganti kayu bakar. Selain itu, disediakan pula zona tradisional seluas 400 hektar untuk memungut hasil hutan bukan kayu, perburuan tradisional, dan wisata terbatas untuk masyarakat setempat. Sedangkan untuk membuka peluang usaha baru, Balai Besar TNBTS memberikan pelatihan budidaya jamur dan pinus.

Di samping dari pemberlakuan berbagai kebijakan dari pemerintah, kearifan lokal dari Suku Tengger juga sudah teruji puluhan tahun dalam menjaga kelestarian hutan. Salah satunya berada di desa Wonokitri, kabupaten Pasuruan. Masyarakat Tengger di desa Wonokitri memiliki kearifan lokal dalam menjaga dan memelihara hutan. Mereka menjaga adat untuk tidak sembarangan menebang hutan, yaitu “tebang satu tanam dua”. Artinya suku Tengger akan menanam dua kali lipat pohon sejenis dari jumlah pohon yang ditebangnya. Selain menjaga kelestarian hutan, mereka juga mengupayakan untuk menjaga keberlangsungan tersedianya sumber air bersih dengan melakukan penghijauan pada area sekitar mata air dan memanfaatkan kembali air limbah rumah tangga untuk menyiram tanaman.

Wilayah sebaran suku Tengger di kabupaten Probolinggo dapat dijumpai di desa Ngadisari. Bentuk kearifan lokal yang tetap terjaga yaitu pantangan terhadap penebangan pohon cemara di sekitar punden, ritual bebersih di sekitar punden untuk persiapan lahan, pelarangan menebang pohon muda yang bermanfaat, ritual memohon izin pada proses persiapan lahan, sistem tebang pilih di lahan hutan, upacara kasada, unan-unan, upacara karo, dan pujan kawolu. Berbagai kegiatan tersebut pada akhirnya mendukung kelestarian hutan dari aspek ekologi, produksi, dan sosial.Berbagai kearifan lokal yang telah ditaati secara turun-temurun dari nenek moyang suku Tengger, mencerminkan semangat peduli lingkungan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan salah satu poin tujuan global dalam SDG’s (Sustainable Development Goal’s) yang merupakan program dari negara-negara anggota PBB, yaitu poin ke-15 : Ekosistem Daratan. SDG berusaha melindungi dan memperbaiki penggunaan ekosistem darat seperti hutan, rawa, lahan dan gunung pada 2020.  Yang mana mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan menghentikan penebangan hutan sangat penting untuk menghentikan dampak perubahan iklim. Maka dari itu, harus segera dilakukan tindakan untuk mengurangi hilangnya habitat alami dan keanekaragaman hayati yang merupakan bagian dari warisan kita bersama.

Penutup

Kepatuhan Suku Tengger terhadap nilai-nilai adat yang dianut secara turun-temurun menjadi kekuatan tersendiri bagi sekitar 41 desa Tengger yang berada di empat kabupaten, yaitu Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Namun agar tidak mudah tergerus peradaban modern sekarang ini, nilai-nilai tradisi tersebut membutuhkan pengakuan yang sah dari pemerintah selaku pemegang kebijakan untuk melindungi hak masyarakat hukum adat dan kearifan lokalnya.Tahun 2021, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Di dalam aturan tersebut pemerintah menetapkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat yang ditanda tangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas ± 1.090.755 Ha. Hal ini sangatlah penting mengingat kearifan lokal dari masyarakat hukum adat dalam tiap suku penghuni kedalaman hutan adalah salah satu upaya nyata menjaga kelestarian hutan.

Alangkah baiknya jika dalam penentuan zona-zona dan berbagai aturan dalam hutan adat melibatkan berbagai tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar dan memiliki wawasan mendalam mengenai adat setempat. Sebagai contoh pada suku Tengger sendiri, yang mana suku ini kental hidup berdampingan dengan roh leluhurnya, sehingga pengaruh dukun adat sangat besar dalam kelestarian alam TNBTS. Bahkan mereka lebih memilih tidak ada kepala desa daripada tidak ada dukun dalam suatu desa. Selama ini, pihak pengelola TNBTS sendiri pun selalu meminta pertimbangan para dukun adat bila akan mendirikan maupun memperbaiki bangunan yang rusak di kawasan yang menjadi tempat suci orang Tengger. Dengan demikian menjaga hubungan dengan dukun adat sangat penting dilakukan dalam mencapai tujuan bersama untuk menjaga lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga diharapkan target tujuan global poin 15 tersebut di tahun 2030 yakni menjamin pelestarian ekosistem pegunungan, termasuk keanekaragaman hayatinya, untuk meningkatkan kapasitasnya memberikan manfaat yang sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan dapat terealisasi.

Esai ini diikutsertakan dalam kontes esai ke-3 yang diselenggarakan oleh IPB dengan tema : Pengetahuan Tradisional : Membuka jalan bagi SDG's.

Posting Komentar

Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified
Russian Portuguese English French
German Spain Italian Dutch
Komunitas